Tentang Dyslexia

Mengambil bidang ilmu psikologi semasa kuliah telah memberi kesempatan bagi saya mengenal dan mempelajari berbagai istilah psikologi yang terdengar catchy. Hhmm.. Siapa yang tidak tergelitik mencari tahu istilah megalomania, agoraphobia? Bahkan Pyromania sempat menjadi gelar saya selama 3 hari menjalani orientasi mahasiswa baru di kampus tercinta ini. Semua istilah berakhiran -ia itu pernah dengan sukses memaksa saya untuk memahami konsep dan artinya dalam satu malam. Tepatnya satu malam sebelum ujian psikologi abnormal. Hehehe...

Istilah dyslexia yang saya kenal saat mengambil mata kuliah Kesulitan Belajar mungkin adalah salah satu konsep yang paling sulit saya pahami. Pengertian dyslexia yang saya dapatkan hanya sebatas kesukaran berbahasa, khususnya membaca akibat gangguan dalam memproses informasi. Dalam pikiran saya, seseorang yang mampu mengenali kedua puluh enam huruf secara terpisah, seharusnya mampu membaca (atau minimal mengejanya) ketika huruf-huruf tersebut dirangkaikan menjadi satu kata. Dan saat kata-kata tersebut dirangkai, seharusnya ia mampu membacanya sebagai sebuah kalimat. Dan seterusnya, kalimat yang digabung akan membentuk sebuah paragraf. Kemudian paragraf, menjadi cerita.

Kalaupun seseorang pernah mengalami kesulitan membaca, sepantasnya hanya terjadi di masa-masa awal belajar membaca. Dan seiring bertambahnya jam terbang membaca, bertambah pula kemampuan membacanya.

Sampai saat saya melihat tulisan ini.





Pertama kali membaca tulisan di atas, kita mungkin merasa tertantang, lalu mencoba mencari tahu kata-kata apa yang seharusnya terbaca.

Bagaimana kalau tulisan dengan pola seperti itu yang harus kita hadapi setiap hari? Setiap kita membaca buku, koran, subtitle film, petunjuk pemakaian alat elektronik yang baru kita beli, bahkan informasi jalan.

Ya. Saya pasti akan frustasi.
Dan mungkin akan lebih frustasi lagi saat melihat orang lain bisa membaca semua itu dengan sedemikian mudahnya. Sementara di mata saya, semua itu hanya sebatas deretan huruf yang mengambang tanpa arti.

Bayangkan saat dulu dyslexia masih belum mendapat perhatian khusus. Mereka dengan semena-mena diberi label bodoh, malas, sulit konsentrasi.

Kejadian ini pernah saya alami ketika KKN di Gunung Kidul di tahun 2003 lalu. Bimbingan belajar anak SD - SMP rata-rata menjadi menu wajib program KKN. Saat itu, ada salah seorang anak kelas 3 SD masih belum bisa membaca yang sering mengikuti kegiatan bimbingan yang diadakan setelah shalat maghrib. Carles namanya. Menurut informasi dari teman-temannya, ia kurang cerdas. Meskipun naik kelas, ia selalu mendapat ranking terakhir. Bahkan pada saat ulangan umum, gurunya pun turut tangan membantu membacakan soal khusus untuknya.

Teman-teman KKN yang lain sudah angkat tangan dan karena itu menyerahkannya kepada saya. Saat menguji hafalannya terhadap huruf, saya sempat pusing dibuatnya. Huruf A, bisa. B, dia hanya senyum-senyum saja sampai saya beritahu. C, dia tahu (tentu saja, karena ini huruf pertama namanya). D, dia berpikir lamaaa sekali. Kembali ke B, dia sudah lupa. Padahal baru beberapa waktu yang lalu saya menunjukkan huruf B.

Saya mencoba dari dasar, yaitu pengenalan huruf: A, B, C, D, E. Metodenya? Bervariasi. Mulai dari menghubungkan titik-titik, menulis huruf sampai 10x sambil disuarakan, memasangkan benda dengan huruf, sampai memberikan clue ("b perutnya di depan, d perutnya di belakang"). Hasilnya? Belum ada progres.

Kejutan muncul ketika sambil iseng saya merangkai huruf menjadi suku kata. Ia memahami konsep mengeja huruf adalah menyambung huruf di depan dengan di belakangnya. Selanjutnya saya memberi contoh bahwa bola dapat dibagi menjadi dua suku kata b + o = bo, l + a = la. Meski ia sering lupa suku kata di depannya (bo).

Saya: "B, O..."
Carles: "BO.."
Saya: "L, A.."
Carles: "LA.."
Saya: "Disambung jadi..."
Carles: "........"
Saya: "BO..."
Carles: "LA.."

Dan yang mengherankan, ini dilakukan secara lisan, hanya diucapkan. Waktu dia kembali dihadapkan pada bentuk tertulis, kelihatan sekali ia mengalami kesulitan untuk mengenali berbagai huruf yang ada di depannya.

Saat itu, saya tidak pernah punya pikiran bahwa ini salah satu bentuk dyslexia. Dan sampai sekarang pun saya belum benar-benar yakin bahwa Carles mengalami dyslexia sampai ia menjalani tes. Yang melintas di kepala saat itu justru faktor lingkungan lah yang menjadi penyebab Carles mengalami kesulitan belajar membaca. Ia tinggal dengan kakek neneknya yang buta huruf. Rumahnya pun agak terpencil, jauh dari rumah penduduk lain. Satu-satunya kesempatan yang ia punya untuk belajar membaca hanya selama 5 jam di sekolah. Itu pun masih harus berbagi perhatian dengan 23 siswa lainnya. Ditambah perasaan inferior yang muncul saat berhadapan dengan teman sekelasnya yang lebih lancar membaca, sangat mungkin motivasi belajarnya menjadi rendah.

Dan waktu 3 bulan pastilah tidak cukup untuk memberikan pengaruh yang berarti bagi pembelajarannya. Ataupun memberi pengertian kepada lingkungan di sekitarnya bahwa Carles tidak bodoh. Ia hanya melihat tulisan dengan cara yang berbeda. Dan dengan keterbatasannya itu, Carles seharusnya mendapat metode pengajaran yang juga berbeda.

Entah kenapa tiba-tiba terpikir tentang Carles saat melihat tulisan di atas. Timbul penyesalan bahwa saya juga sempat berpikir sama seperti orang-orang di sekitar Carles. Betapa saya memaksakan persepsi 'normal' ini kepadanya. Bahwa seharusnya dia juga melihat apa yang saya lihat. Baru sadar, bahwa saat mengajarkannya membaca, saya tidak berempati dengan kondisinya. Saya hanya melihat dari sudut pandang saya sendiri, bukan sudut pandangnya.

4 komentar:

keren banget...seandainya aku ikut KKN di situ, pasti charles udah bisa membaca...

oohh.. harusnya kita tukeran lokasi KKN aja ya..

wah...seandainya da skul khusus buat pnderita diselexia...mau deh jd gRunya ^_^ sbg org yg normal Qt wajib bntu mReKa loh...zakia

gunung kidul tapi kok namanya charless

Posting Komentar