Nggak kemana-mana

Saya menatapnya dari jauh. Lamaa.. Panggung itu bukan hanya miliknya. Ada 4 laki-laki lain di sana. Tapi entah kenapa, di mata saya sosoknya tampak begitu bersinar. Bukan karena bajunya tentu. T shirt hitam, tidak istimewa. Permainan basnya juga tak terlalu menonjol dibanding peserta lain. Aksi panggungnya? Hmm... Biasa. Kalem, tak banyak tingkah. Sesekali beradu dengan si gitaris, sesekali berjalan ke pinggir panggung. Tapi ada sesuatu yang membuat saya sulit melepaskan pandangan dari sosoknya.

Hampir 12 tahun saya mengenalnya. Sejak kami masih berpakaian putih merah. Tak banyak obrolan yang pernah mampir di antara kami. Dan kuantitas maupun kualitas obrolan juga belum meningkat di masa taksir menaksir yang dimulai saat kami berseragam putih biru. Hanya sebatas lirikan mata jika berpapasan di kantin, mushalla, lapangan sekolah.

Ah, tak perlu itu semua...
Hanya melihat rambutnya dari jendela ruang kelas saat dia melintas saja saya sudah senang. Begitu hafalnya saya dengan rambut jigrak-jigrak atau gaya jalan yang menurut saya, dia banget. Begitu hafalnya saya dengan suaranya. Sehingga setiap kali radar saya menangkap tanda-tanda keberadaannya, saya langsung terdiam sampai dia lewat.

Terbayang kan bagaimana perasaan saya waktu kami mulai titip menitip salam?
Betapa kuatnya saya berusaha meyakinkan si teman kalau saya tidak terpengaruh dengan pesan yang dibawanya. Nyatanya tubuh ini justru bereaksi sebaliknya. Pipi yang bersemu merah, mata yang berbinar-binar sambil sesekali tertunduk malu. Dan tawa si teman semakin keras waktu saya mengangguk sambil tersipu saat menjawab pertanyaannya, "Salam balik nggak?".

Yaah.. Saya memang pemalu sekali saat itu...
*siap-siap ngeles ditimpuk*

Dan salam-salam yang datangnya tidak rutin itu telah memberi warna di hidup saya..
Salam-salam itu dan kehadirannya yang hanya selintas telah menjadi alasan saya untuk berangkat sekolah.

Sampai saya tahu bahwa dia punya banyak penggemar. Hampir di setiap kelas.
Ya, dia memang layak menjadi idola. Postur tubuh sedikit di atas rata-rata ditunjang wajah yang, yaaahh, cukup manis. Jabatan sebagai ketua kelas yang juga sering tampil sebagai pemain basket andalan sekolah. Belum lagi sifat humoris dan ramahnya.

Perempuan yang menggemarinya mungkin tak terhitung. Mereka bahkan dengan berani memanggil-manggil, ngobrol di pinggir lapangan basket atau bahkan nonton bareng.

Dan saya hanya bisa mengalihkan pandangan setiap melihat itu semua.

Cukup sering saya bertanya ke diri sendiri. Kenapa saya tak bisa seperti mereka, bebas mengobrol, bercanda dengan serunya. Saya, yang temannya sejak kecil, hanya bisa memperhatikannya dari jauh. Terlalu malu dengan perasaan yang saya simpan sedemikian rupa. Bahkan dalam beberapa kesempatan berbincang dengannya (yang sebenarnya cukup jarang terjadi), saya seringkali hanya bisa tersipu menjawab pertanyaannya dengan suara yang bergetar, nyaris tak terdengar. Setengah mati berusaha meredam degup jantung yang sedemikian keras sampai saya tak bisa mendengar suaranya atau suara saya sendiri.

Sampai dengan bantuan seorang teman, saya memberanikan diri untuk meneleponnya. Tidak terlalu lama tapi cukup membuat saya senang karena kami bisa mengobrol layaknya teman akrab.

Tapi jangan harap percakapan yang sama bisa terlihat saat kami bertemu di sekolah keesokan harinya. Saya kembali menjadi si pengagum jarak jauh. Teman-teman yang gemas, selalu memancing saya untuk berani mengajaknya ngobrol. Dia sendiri sangat baik, selalu menyapa setiap kami berpapasan. Sapaan yang kadang hanya saya balas dengan senyum tipis yang langsung diikuti dengan pipi yang memerah dan ledekan teman-teman segenk.

Tuh, saya pemalu sekali kan?
*eeits.. ga kena..*

Dan prestasi tertinggi yang pernah saya lakukan hanya meminta tanda tangannya di baju seragam saat perpisahan SMP. Itupun agak tersamarkan, karena pada saat yang sama, teman-teman segenk menyerbunya untuk meminta tanda tangan. Saya sengaja menunggu giliran terakhir kemudian tersenyum sambil memberikan spidol. Dia balas tersenyum, langsung memberikan tanda tangan di belakang kerah baju saya. Tak ada celetukan iseng, tak ada tatapan mata dan senyum penuh arti dari teman-teman saya yang hobinya ngomporin itu.

Tiga tahun kemudian, saya menonton penampilannya di acara pentas seni sekolah. Dia masih tetap disukai banyak perempuan. Saya tetap si pemalu.

Bedanya, kali ini kami bercanda dan mengobrol.
Saya bisa mendengar suaranya, tidak lagi tertutup suara detak jantung saya sendiri. Perasaan itu memang tidak hilang, masih ada. Hanya tidak sebesar dulu. Rasanya lebih tenang, lebih nyaman. Saya menikmati setiap obrolan dan tawa dengannya, menikmati setiap detik di siang itu. Saya menikmati saat-saat dimana saya bisa menjadi diri sendiri, di hadapannya.

1 komentar:

Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

Posting Komentar