Alter Ego yang Pergi

Ah, menulis lagi setelah sekian lama blog ini beristirahat.
Saya kelihatannya masih perlu banyak waktu untuk belajar menulis secara rutin. Di awal pembuatan blog ini (dan blog sebelumnya) sempat terbersit keinginan untuk melahirkan satu posting baru setiap minggunya. Ternyata nggak semudah yang diduga. Saya tetap menulis, apapun yang terlintas di kepala, teramati oleh mata atau terekam di hati (halah, bahasanya). Tapi nggak tahu kenapa, setiap kali akan mengklik tombol 'Publish Post', saya kembali ragu-ragu. Merasa tulisan ini kurang berisi, kurang mencerminkan diri saya, content yang kurang up to date atau alasan-alasan lain yang sempat muncul. Dan akhirnya, semua itu hanya tersimpan sebagai draft, entah sampai kapan.

Saya butuh katarsis.
Banyak hal memenuhi kepala saya. Pertanyaan yang belum terjawab, rencana masa depan, perasaan yang menggelisahkan. Semua itu butuh penyaluran. Dan menulis sepertinya media yang tepat, tidak hanya untuk menampung isi hati dan kepala yang membludak tapi juga untuk mempelajari pola pemikiran saya. Sering saya terkikik geli membaca diary-diary jaman berseragam sekolah dulu. Polos, lucu, apa adanya. Masalah yang dulu dirasa begitu rumit, menjengkelkan dan biasanya ditulis dengan huruf besar serta tanda seru yang berjejer itu, kini malah membuat saya tersenyum-senyum sendiri.

Sampai saat ini pun menulis masih jadi kebutuhan, kali ini dalam bentuk yang berbeda. Kalau dulu buku-buku kecil yang halamannya berwarna-warni, kini beralih ke media elektronik. Yang saya masih belum terbiasa hanyalah konsep berbagi ke publik. Sebagai seorang yang introvert, saya terbiasa menyimpan pemikiran dan perasaan sendiri. Hanya sedikit porsi yang saya bagi ke khalayak umum, sedangkan yang sebagian besar tetap disimpan untuk saya sendiri dan orang-orang terdekat. Melalui blog, saya 'dipaksa' untuk berbagi tidak hanya dengan teman dekat, tapi juga dengan orang-orang yang tak pernah saya kenal sebelumnya. Seperti buku terbuka, setiap hal yang tertulis di dalamnya menjadi milik publik.

Saya yang introvert akut sering kali merasa gamang dalam menentukan mana yang sebaiknya dipublish dan mana yang seharusnya disimpan sendiri. Jujur, saya masih belum berani membiarkan orang lain mengetahui pikiran dan perasaan yang selama ini saya simpan dalam-dalam. Saya takut akan penilaian mereka. Karena sedikit banyak penilaian itu akan berpengaruh. Tapi seperti pegas, semakin kuat daya tekan yang saya berikan, semakin besar juga keinginannya untuk melompat keluar. Sampai pada satu titik dimana saya tidak mampu menahan pemikiran dan perasaan tersebut sehingga harus membiarkannya tumpah, tak tertampung. Karena itu saya coba untuk berkompromi.

Saya percaya dunia maya memberi kesempatan kepada kita untuk menciptakan diri yang berbeda dengan dunia nyata. Alter ego istilahnya. Seperti Bruce Wayne dengan Batman, alter ego adalah suatu sosok yang berbeda 180 derajat dengan diri yang ditampilkan di dunia nyata. Kita yang ingin selalu tampak baik di mata orang lain ada kalanya menyimpan beberapa hal yang berpotensi untuk tidak diterima oleh lingkungan. Alhasil. kita membutuhkan tempat penampungan. Kritik, sindiran, kesinisan, kemarahan yang masih dipandang negatif bisa tersalurkan secara aman di dunia maya.

Sedikit pengakuan dosa. Ransel kecil ini awalnya dibuat untuk diisi oleh alter ego saya di dunia maya, Samarthana. Dalam bahasa Sansekerta, Samarthana berarti refleksi. Tulisannya sendiri adalah refleksi atas berbagai kejadian dalam hidup saya, yang menyenangkan maupun tidak. Dengan menjadi Samarthana, saya bebas bercerita (dan mencela). Tentang masa-masa abege labil, kebingungan saat dihadapkan pada berbagai pilihan, kesinisan saya pada seorang laki-laki. Hal-hal yang dalam kehidupan nyata akan berpotensi tidak diterima oleh mereka yang terkait. Bayangkan kalau saya tetap menggunakan nama asli lalu blog saya dibaca oleh istri si cinta monyet atau laki-laki yang tidak gentlemen atau sosok yang dengan semena-mena saya analogikan sebagai beruang?

Itulah keuntungan 'menjadi' Samarthana.

Tapi, sebesar apapun usaha untuk berbicara sebagai Samarthana, ciri khas saya tidak hilang dan membuat saya tetap dikenali (cih, sok terkenal..) Selain si om dan sahabat nun jauh di sana, ada beberapa teman yang juga suka melihat-lihat isi ransel saya (hai kamu..). Sebagai pertanggungjawaban atas tulisan sebelumnya dan berikutnya, saya memutuskan untuk memakai nama sendiri, bukan lagi sebagai Samarthana. Dan saya juga akan semakin berhati-hati dalam menulis, yang semoga saja tidak membuat saya justru semakin malas mengupdate blog ini. Alternatifnya antara memilih jenis tulisan yang relatif 'aman' dan kalaupun gemes pengen misuh-misuh bisa dengan menyamarkan nama orang-orang yang terlibat. Kalaupun masih ada yang merasa tersudut dan keberatan dengan tulisan saya, silahkan kontak via japri.

Sekali lagi, selamat datang di rumah saya *nyuguhin es sirop*. Saya Risty, pemilik ransel kecil ini.

Anu.. kalo es siropnya udah abis, gelasnya dicuci sendiri ya..

Gentlement vs Jerk

Saya menatap matanya dalam-dalam. Kebahagiaan terpancar jelas di sana. Bahkan saya dapat merasakan aura jatuh cinta dari wajah manisnya yang semakin bersinar. Setiap berbicara tentang laki-laki itu matanya berbinar indah, senyum selalu menghias bibir tipisnya. Dia bahagia..

"Tapi mbak Risty nggak setuju aku suka sama dia, mbak.." ujarnya kepada Miss Judes.
"Kenapa, Ris? PK ya" tanya Miss Judes, si to-the-point-males-basa-basi.
"Mmm.. Gitu deh, mbak.. Track recordnya nggak bagus.." jawab saya ragu-ragu, tidak siap memainkan peran antagonis.
"Iya sih, keliatan kalo player abis.." kata Miss High Society tentang laki-laki yang dijatuhi cintanya.

Setelah itu obrolan tentang laki-laki itu terus berlanjut. Saya sesekali menimpali. Tapi sepanjang perjalanan, saya sibuk dengan pikiran saya sendiri. Yah, 'track record yang nggak bagus' sepertinya masih belum cukup untuk menggambarkan laki-laki itu.

"g-e-n-t-l-e-m-e-n-t is more difficult to spell than j-e-r-k because it's more difficult to be one"

Laki-laki yang berpacaran dengan seorang perempuan tapi mengaku masih single lalu tetap tebar pesona kemana-mana dan memberi harapan ke perempuan lain dengan sadar mungkin lebih layak disebut jerk. And i'm quite sure he can only spell j-e-r-k. *sinis mode: on*

Karena suatu alasan, saat itu saya masih belum bisa memberitahukan penyebab ketidaksetujuan saya kepada Miss High Society. Toh, posisi saya yang hanya orang luar dalam hubungan cinta -yang sebenarnya segitiga- itu tidak memungkinkan untuk ikut campur terlalu jauh. Tapi kalau situasinya memungkinkan atau hubungan ini berkembang menjadi semakin buruk bukan tidak mungkin saya akan bercerita.

Tapi entah kenapa bagi perempuan-perempuan single (seperti Miss High Society dan teman-teman lain, dan mungkin.. saya sendiri?), laki-laki yang tidak ingin berkomitmen, yang sudah punya pacar, yang akan atau sudah menikah biasanya memiliki daya tarik yang lebih tinggi dibanding laki-laki single yang baik-baik. Apa hukum yang sama juga berlaku untuk laki-laki kepada perempuan ya?

Accidental Hero





Hero (1992)

Pemeran:
Dustin Hoffman: Bernie Laplante
Andy Garcia : John Bubber
Geena Davis : Gale Gayley
Joan Cusack : Evelyn Laplante

Sutradara: Stephen Frears

Saya lupa kapan persisnya nonton film ini. Pastinya di salah satu malam saat insomnia saya kumat. Karena saya ingat jam 1 dini hari mata ini masih cukup segar untuk tetap terbuka, menikmati jalan ceritanya.

Cerita tentang Bernie LaPlante, laki-laki yang dinilai kurang bertanggung jawab dan egois oleh Evelyn, si istri. Mereka tidak lagi tinggal serumah. Evelyn mendapat hak asuh atas anak laki-laki mereka satu-satunya. Sementara Bernie berprofesi sebagai pencuri dan hidup sendiri. Lepas dari hubungannya yang buruk dengan Evelyn, Bernie sangat menyayangi anak semata wayangnya.

Suatu malam dalam perjalanan bertemu anaknya, Bernie menjadi saksi kecelakaan pesawat no 104 yang jatuh di sungai. Ia yang saat itu sedang diburu waktu karena ingin segera bertemu anaknya, akhirnya menyempatkan diri menolong para korban dan melepaskan sepasang sepatu seharga $100 miliknya. Dengan wajah tertutup lumpur dan kondisi yang gelap gulita, Bernie berusaha menyelamatkan seluruh korban, salah satunya Gale, seorang reporter. Setelah itu Bernie segera pergi, tanpa memperkenalkan diri ataupun memberi keterangan kepada polisi yang baru saja tiba di TKP.

Bernie yang kehilangan salah satu sepatunya di TKP tiba di rumah Evelyn dengan wajah kotor. Meskipun ia menjelaskan penyebab keterlambatannya, Evelyn tetap tak percaya dan melarangnya bertemu anak mereka. Tanpa sepengetahuan si istri, Bernie bertemu dengan anak mereka dan menceritakan kejadian sebenarnya.

Dalam perjalanan pulang, Bernie bertemu dan menumpang mobil John Bubber, seorang tuna wisma. Bernie bercerita tentang kecelakaan pesawat yang baru ia saksikan, tentang keadaan keluarganya dan dengan kesal melemparkan sebelah sepatu yang ia miliki ke dalam mobil John.

Cerita semakin menarik ketika Gale si reporter sangat terkesan dengan sosok pahlawan dalam kecelakaan pesawat tersebut. Karena tidak memiliki petunjuk mengenai siapa penyelamatnya, Gale membuat acara pencarian 'Angel of Flight 104' di TV dengan hanya bermodalkan sebelah sepatu si penyelamat. Singkat cerita, John Bubber datang dengan membawa sebelah sepatunya. Di sini saya tertawa, sangat Mr. Cinderella sekali ya...

John Bubber segera saja menjadi idola baru. Gale yang sebelumnya sangat percaya bahwa si 'Angel of Flight 104' ini adalah seorang yang berhati lembut seolah mendapat pembenaran dan pelan-pelan mulai jatuh cinta. Bubber sendiri pada dasarnya memang baik dan mudah bersimpati pada orang-orang yang mengalami kesulitan pun terpaksa terjun semakin dalam di peran barunya. Namun, hati kecilnya merasa dia tidak layak mendapat mendapatkan semua ini karena memang ia sendiri bukanlah pahlawan yang dimaksud.

Sementara Bernie yang awalnya tidak peduli dengan tindakan mulianya, mulai tergoda saat mengetahui bahwa si 'Angel of Flight 104' ini akan menerima hadiah berupa uang yang jumlahnya cukup besar. Sadar bahwa ia tak mungkin tiba-tiba muncul di hadapan publik dan mengakui bahwa ialah si 'Hero', Bernie memilih untuk mengejar John Hobber.

Endingnya mungkin bisa ditebak. Tapi bagi saya, film ini jadi menarik karena konflik dan dinamika psikologis dari kedua tokoh utamanya. Bernie Laplante, si tokoh jahat yang dalam suatu situasi memutuskan berbuat baik dan sebaliknya, John Bubber, si lembut yang kemudian berbuat jahat dalam arti melakukan kebohongan publik. Ironis...

Saya percaya ada sisi baik dan buruk dalam diri setiap orang. Ingin hidup tenang dan damai, tapi ada kalanya muncul keinginan menyerang. Di satu sisi ingin berguna bagi orang lain, tapi di saat yang sama mengedepankan kepentingan diri sendiri. Melakukan kebaikan sebagai kompensasi atas kesalahan yang pernah kita lakukan sebelumnya.

Memang tidak ada orang yang sepenuhnya putih dan tidak ada yang sepenuhnya hitam. Perilaku yang muncul sepatutnya tidak menjadi satu-satunya penilaian. Ada alasan yang melatarbelakangi keputusan seseorang untuk melakukan kebaikan atau kejahatan, ataupun tidak melakukannya. Tapi satu hal, hati nurani jelas tidak mungkin berbohong. Seorang perampok, seberapapun kuatnya memberikan alasan bahwa tindakannya dilakukan atas dasar ekonomi, pasti menyadari bahwa tindakannya salah.

Hhmmm... postingan yang nggak jelas. Sepertinya efek belum sarapan bikin saya ngelantur, ngomong pun jadi abstrak gini..

Did you know?

Film ini juga dikenal dengan judul Accidental Hero, yang menurut pendapat saya, justru lebih sesuai dengan alur cerita.

Lagu 'Hero' Mariah Carey, sebenarnya dibuat untuk theme song film ini. Tapi akhirnya dibatalkan dan terpilihlah lagu 'Heart of a Hero' dari Luther Vandross sebagai theme song-nya.

Kucing Kecil

Kucing kecil itu berdiri termangu. Matanya menatap pintu yang berada tepat di seberang ruangannya. Pintu itu terbuka begitu lebar dan dari baliknya terdengar suara riuh rendah. Ia tersenyum membayangkan apa yang terjadi di dalam ruangan itu. Ia tahu pasti apa yang ada di baliknya. Sangat tahu.

Ruangan itu. Ruangan berwarna broken white dengan nuansa hijau di sana sini. Ia pernah berada di sana cukup lama sehingga mengenal dekat penghuninya. Paman beruang yang lucu dan baik hati, paman singa yang ramah tapi tegas. Ada juga teman-temannya, beberapa kucing kecil yang senang berlari-lari menjelajah ruangan, dengan jahilnya mengganggu kakak-kakak rusa yang sedang makan, namun bisa duduk tenang mendengarkan dongeng ibu panda sebelum tertidur.

Di ruangan itu ia pernah menangis karena terjatuh, tapi juga pernah merasakan kebanggaan luar biasa saat berhasil mengerjakan tugas yang diberikan paman beruang. Kebingungan yang dirasakan di masa awal berada di sana, setara dengan kepuasan yang didapat saat mengetahui hasil kerjanya dihargai dan dapat bermanfaat untuk penghuni lain. Pertengkaran datang silih berganti dengan canda dan ledekan akrab. Ia sudah tahu bagaimana karakter setiap penghuninya. Menghadapi kucing kelabu, teman akrabnya, tentu berbeda dengan menghadapi kelinci yang suka berdebat. Berbincang dengan paman beruang yang santai juga pasti berbeda dengan ibu panda yang mudah marah.

Ia rindu berada di tengah mereka.

Dan ternyata mereka pun rindu padanya.
Kemarin paman beruang datang, bertanya apakah ia mau kembali ke ruangan bernuansa hijau itu. Mengerjakan hal lain yang sangat ia sukai. Hal yang ia impikan sejak dulu.

Kucing kecil tentu saja senang dengan tawaran itu. Kembali bermain dengan paman beruang, kucing kelabu, bahkan ibu panda? Hmmm... Sayang sekali jika ditolak..

Lalu kucing kecil menoleh, memperhatikan ruangan tempatnya berada saat ini. Tidak sebesar ruangan di seberang memang. Penghuninya pun masih sedikit. Tapi di sini, ia bisa bebas melakukan banyak hal yang menyenangkan. Bermain gulungan wol, menggangu kumpulan burung pipit yang sedang asyik mengobrol, berjemur di hangatnya sinar matahari sambil bercanda dengan ikan kecil di kolam.

Di sini belum ada aturan baku. Semua penghuni bebas melakukan apa saja. Memang menyenangkan, tapi sering kali jadi mengganggu. Dan ia diminta oleh paman singa untuk menerapkan aturan untuk membuat ruangan ini, paling tidak, sedikit lebih tertib.

Kucing kecil yang sebelumnya masih terkaget-kaget dengan keadaan ruangan ini, tentu saja jadi semakin terkejut. Ia tidak menyangka tanggung jawabnya sedemikian besar. Dan ia sempat ragu, apakah ia mampu mengemban tugas itu dengan baik. Untung saja ada paman gajah yang selalu mendampinginya. Ia selalu mendukung setiap keputusan yang diambil oleh kucing kecil.

Tapi, kucing kecil merasa kesepian. Ia satu-satunya kucing di sana. Sendiri. Tak ada teman bermain gulungan wol, tak ada teman berdiskusi apakah sebaiknya mencari pelatih vokal untuk burung-burung pipit atau melatihnya sendiri. Ia kesepian dan kebingungan.

Kucing kecil menatap pintu di seberang ruangan itu lagi.
Hei... Sejak kapan ada paman beruang di sana? Melambaikan tangan, memanggil kucing kecil. Dari sorot matanya, kucing kecil tahu paman beruang menunggu jawaban. Kucing kecil balas melambaikan tangan. Tak lama si kelinci, lawan bertengkarnya di ruangan itu muncul. Disusul kakak rusa dengan tanduknya yang cantik. Lalu kucing kelabu, waaahh gemuk sekali dia sekarang... Mereka semua memanggil-manggil kucing kecil, mengajaknya kembali ke ruangan itu.

Kucing kecil bingung.
Masih diingat dengan jelas alasannya pergi dari ruangan bernuansa hijau itu. Iklim di sana dirasakan sudah tak sehat untuknya. Dingin, tak nyaman. Kucing kecil tahu, banyak penghuni yang sudah tidak kuat berada di sana. Dan setelah ia pergi, banyak yang kemudian menyusul. Sampai sekarang pun ia tahu, masih banyak yang memaksakan diri menahan dingin, demi menunggu saat yang tepat untuk pergi dari sana. Dari ruangan dingin yang membuatnya menggigil.

Kerinduan terhadap teman-temannya di ruangan bernuansa hijau itu, akankah mampu membuatnya kembali ke sana? Kehangatan teman-temannya, akankah mampu melawan rasa dingin yang selalu dirasakannya? Pekerjaan yang ditawarkan oleh paman beruang, akankah mampu membuatnya bertahan di sana?

Kucing kecil bingung.
Ia menatap teman-teman di ruangan tempatnya berada. Di sini pun banyak yang merasa tak nyaman. Entah apa yang membuat mereka bertahan. Kucing kecil belum cukup lama berada di sini, belum tahu apa yang ada di pikiran mereka. Mereka belum bercerita banyak tentang ruangan ini.

Kucing kecil bingung.
Apalagi dilihatnya pintu cokelat di sebelah ruangan bernuansa hijau perlahan terbuka. Ibu kancil ada di sana, tersenyum padanya. Mempersilahkan kucing kecil mampir atau sekedar melihat-lihat ruangannya. Siapa tahu tertarik, katanya. Kucing kecil pernah mendengar apa yang ada di balik pintu cokelat itu. Tempat yang menyenangkan, penuh mainan, karena penghuninya bayi-bayi binatang. Kucing kecil membayangkan tugas apa yang akan dihadapinya di sana. Bermain dengan bayi, setiap hari. Alangkah menyenangkan...

Tolong... Kucing kecil semakin bingung...
Semakin banyak pilihan, semakin pusing jadinya.

Kucing kecil menatap ke atas, menembus langit-langit ruangannya, menembus atap gedung, menembus awan. Kucing kecil mencari Pemilik Segala Jawaban, ingin bertanya apa rencana yang Ia buat untuknya? Ruangan mana yang harus ia masuki? Tugas apa yang sebaiknya ia kerjakan supaya menjadi kucing yang tidak hanya lebih besar dari segi fisik, tapi juga dari segi kemampuan?

"Wahai Pemilik Segala Jawaban, tolong tunjukkan jalan terbaik untukku..."

In the Arms of the Angel


Angel - Sarah McLachlan


Spend all your time waiting

For that second chance

For a break that would make it okay

There’s always one reason

To feel not good enough

And it’s hard at the end of the day

I need some distraction

Oh beautiful release

Memory seeps from my veins

Let me be empty

And weightless and maybe

I’ll find some peace tonight

In the arms of an angel

Fly away from here

From this dark cold hotel room

And the endlessness that you fear

You are pulled from the wreckage

Of your silent reverie

You’re in the arms of the angel

May you find some comfort there

So tired of the straight line

And everywhere you turn

There’s vultures and thieves at your back

And the storm keeps on twisting

You keep on building the lie

That you make up for all that you lack

It don’t make no difference

Escaping one last time

It’s easier to believe in this sweet madness oh

This glorious sadness that brings me to my knees

In the arms of an angel

Fly away from here

From this dark cold hotel room

And the endlessness that you fear

You are pulled from the wreckage

Of your silent reverie

You’re in the arms of the angel

May you find some comfort there

You’re in the arms of the angel

May you find some comfort here

Ketularan suka lagu ini karena si om yang satu ini.

"May you find some comfort with me" (ciyeeeehh...)

Nggak kemana-mana

Saya menatapnya dari jauh. Lamaa.. Panggung itu bukan hanya miliknya. Ada 4 laki-laki lain di sana. Tapi entah kenapa, di mata saya sosoknya tampak begitu bersinar. Bukan karena bajunya tentu. T shirt hitam, tidak istimewa. Permainan basnya juga tak terlalu menonjol dibanding peserta lain. Aksi panggungnya? Hmm... Biasa. Kalem, tak banyak tingkah. Sesekali beradu dengan si gitaris, sesekali berjalan ke pinggir panggung. Tapi ada sesuatu yang membuat saya sulit melepaskan pandangan dari sosoknya.

Hampir 12 tahun saya mengenalnya. Sejak kami masih berpakaian putih merah. Tak banyak obrolan yang pernah mampir di antara kami. Dan kuantitas maupun kualitas obrolan juga belum meningkat di masa taksir menaksir yang dimulai saat kami berseragam putih biru. Hanya sebatas lirikan mata jika berpapasan di kantin, mushalla, lapangan sekolah.

Ah, tak perlu itu semua...
Hanya melihat rambutnya dari jendela ruang kelas saat dia melintas saja saya sudah senang. Begitu hafalnya saya dengan rambut jigrak-jigrak atau gaya jalan yang menurut saya, dia banget. Begitu hafalnya saya dengan suaranya. Sehingga setiap kali radar saya menangkap tanda-tanda keberadaannya, saya langsung terdiam sampai dia lewat.

Terbayang kan bagaimana perasaan saya waktu kami mulai titip menitip salam?
Betapa kuatnya saya berusaha meyakinkan si teman kalau saya tidak terpengaruh dengan pesan yang dibawanya. Nyatanya tubuh ini justru bereaksi sebaliknya. Pipi yang bersemu merah, mata yang berbinar-binar sambil sesekali tertunduk malu. Dan tawa si teman semakin keras waktu saya mengangguk sambil tersipu saat menjawab pertanyaannya, "Salam balik nggak?".

Yaah.. Saya memang pemalu sekali saat itu...
*siap-siap ngeles ditimpuk*

Dan salam-salam yang datangnya tidak rutin itu telah memberi warna di hidup saya..
Salam-salam itu dan kehadirannya yang hanya selintas telah menjadi alasan saya untuk berangkat sekolah.

Sampai saya tahu bahwa dia punya banyak penggemar. Hampir di setiap kelas.
Ya, dia memang layak menjadi idola. Postur tubuh sedikit di atas rata-rata ditunjang wajah yang, yaaahh, cukup manis. Jabatan sebagai ketua kelas yang juga sering tampil sebagai pemain basket andalan sekolah. Belum lagi sifat humoris dan ramahnya.

Perempuan yang menggemarinya mungkin tak terhitung. Mereka bahkan dengan berani memanggil-manggil, ngobrol di pinggir lapangan basket atau bahkan nonton bareng.

Dan saya hanya bisa mengalihkan pandangan setiap melihat itu semua.

Cukup sering saya bertanya ke diri sendiri. Kenapa saya tak bisa seperti mereka, bebas mengobrol, bercanda dengan serunya. Saya, yang temannya sejak kecil, hanya bisa memperhatikannya dari jauh. Terlalu malu dengan perasaan yang saya simpan sedemikian rupa. Bahkan dalam beberapa kesempatan berbincang dengannya (yang sebenarnya cukup jarang terjadi), saya seringkali hanya bisa tersipu menjawab pertanyaannya dengan suara yang bergetar, nyaris tak terdengar. Setengah mati berusaha meredam degup jantung yang sedemikian keras sampai saya tak bisa mendengar suaranya atau suara saya sendiri.

Sampai dengan bantuan seorang teman, saya memberanikan diri untuk meneleponnya. Tidak terlalu lama tapi cukup membuat saya senang karena kami bisa mengobrol layaknya teman akrab.

Tapi jangan harap percakapan yang sama bisa terlihat saat kami bertemu di sekolah keesokan harinya. Saya kembali menjadi si pengagum jarak jauh. Teman-teman yang gemas, selalu memancing saya untuk berani mengajaknya ngobrol. Dia sendiri sangat baik, selalu menyapa setiap kami berpapasan. Sapaan yang kadang hanya saya balas dengan senyum tipis yang langsung diikuti dengan pipi yang memerah dan ledekan teman-teman segenk.

Tuh, saya pemalu sekali kan?
*eeits.. ga kena..*

Dan prestasi tertinggi yang pernah saya lakukan hanya meminta tanda tangannya di baju seragam saat perpisahan SMP. Itupun agak tersamarkan, karena pada saat yang sama, teman-teman segenk menyerbunya untuk meminta tanda tangan. Saya sengaja menunggu giliran terakhir kemudian tersenyum sambil memberikan spidol. Dia balas tersenyum, langsung memberikan tanda tangan di belakang kerah baju saya. Tak ada celetukan iseng, tak ada tatapan mata dan senyum penuh arti dari teman-teman saya yang hobinya ngomporin itu.

Tiga tahun kemudian, saya menonton penampilannya di acara pentas seni sekolah. Dia masih tetap disukai banyak perempuan. Saya tetap si pemalu.

Bedanya, kali ini kami bercanda dan mengobrol.
Saya bisa mendengar suaranya, tidak lagi tertutup suara detak jantung saya sendiri. Perasaan itu memang tidak hilang, masih ada. Hanya tidak sebesar dulu. Rasanya lebih tenang, lebih nyaman. Saya menikmati setiap obrolan dan tawa dengannya, menikmati setiap detik di siang itu. Saya menikmati saat-saat dimana saya bisa menjadi diri sendiri, di hadapannya.

Favorite quotes: Memoirs of Geisha

Memoirs of Geisha


"My mother always said my sister, Satsu was like wood. As rooted to the earth as a sakura tree... But she told me I was like water. Water can carve its way through stone. And when trapped, water makes a new path."

"She paints her face to hide her face. Her eyes are deep water. It is not for Geisha to want. It is not for geisha to feel. Geisha is an artist of the floating world. She dances, she sings. She entertains you, whatever you want. The rest is shadows, the rest is secret. "

Tentang Dyslexia

Mengambil bidang ilmu psikologi semasa kuliah telah memberi kesempatan bagi saya mengenal dan mempelajari berbagai istilah psikologi yang terdengar catchy. Hhmm.. Siapa yang tidak tergelitik mencari tahu istilah megalomania, agoraphobia? Bahkan Pyromania sempat menjadi gelar saya selama 3 hari menjalani orientasi mahasiswa baru di kampus tercinta ini. Semua istilah berakhiran -ia itu pernah dengan sukses memaksa saya untuk memahami konsep dan artinya dalam satu malam. Tepatnya satu malam sebelum ujian psikologi abnormal. Hehehe...

Istilah dyslexia yang saya kenal saat mengambil mata kuliah Kesulitan Belajar mungkin adalah salah satu konsep yang paling sulit saya pahami. Pengertian dyslexia yang saya dapatkan hanya sebatas kesukaran berbahasa, khususnya membaca akibat gangguan dalam memproses informasi. Dalam pikiran saya, seseorang yang mampu mengenali kedua puluh enam huruf secara terpisah, seharusnya mampu membaca (atau minimal mengejanya) ketika huruf-huruf tersebut dirangkaikan menjadi satu kata. Dan saat kata-kata tersebut dirangkai, seharusnya ia mampu membacanya sebagai sebuah kalimat. Dan seterusnya, kalimat yang digabung akan membentuk sebuah paragraf. Kemudian paragraf, menjadi cerita.

Kalaupun seseorang pernah mengalami kesulitan membaca, sepantasnya hanya terjadi di masa-masa awal belajar membaca. Dan seiring bertambahnya jam terbang membaca, bertambah pula kemampuan membacanya.

Sampai saat saya melihat tulisan ini.





Pertama kali membaca tulisan di atas, kita mungkin merasa tertantang, lalu mencoba mencari tahu kata-kata apa yang seharusnya terbaca.

Bagaimana kalau tulisan dengan pola seperti itu yang harus kita hadapi setiap hari? Setiap kita membaca buku, koran, subtitle film, petunjuk pemakaian alat elektronik yang baru kita beli, bahkan informasi jalan.

Ya. Saya pasti akan frustasi.
Dan mungkin akan lebih frustasi lagi saat melihat orang lain bisa membaca semua itu dengan sedemikian mudahnya. Sementara di mata saya, semua itu hanya sebatas deretan huruf yang mengambang tanpa arti.

Bayangkan saat dulu dyslexia masih belum mendapat perhatian khusus. Mereka dengan semena-mena diberi label bodoh, malas, sulit konsentrasi.

Kejadian ini pernah saya alami ketika KKN di Gunung Kidul di tahun 2003 lalu. Bimbingan belajar anak SD - SMP rata-rata menjadi menu wajib program KKN. Saat itu, ada salah seorang anak kelas 3 SD masih belum bisa membaca yang sering mengikuti kegiatan bimbingan yang diadakan setelah shalat maghrib. Carles namanya. Menurut informasi dari teman-temannya, ia kurang cerdas. Meskipun naik kelas, ia selalu mendapat ranking terakhir. Bahkan pada saat ulangan umum, gurunya pun turut tangan membantu membacakan soal khusus untuknya.

Teman-teman KKN yang lain sudah angkat tangan dan karena itu menyerahkannya kepada saya. Saat menguji hafalannya terhadap huruf, saya sempat pusing dibuatnya. Huruf A, bisa. B, dia hanya senyum-senyum saja sampai saya beritahu. C, dia tahu (tentu saja, karena ini huruf pertama namanya). D, dia berpikir lamaaa sekali. Kembali ke B, dia sudah lupa. Padahal baru beberapa waktu yang lalu saya menunjukkan huruf B.

Saya mencoba dari dasar, yaitu pengenalan huruf: A, B, C, D, E. Metodenya? Bervariasi. Mulai dari menghubungkan titik-titik, menulis huruf sampai 10x sambil disuarakan, memasangkan benda dengan huruf, sampai memberikan clue ("b perutnya di depan, d perutnya di belakang"). Hasilnya? Belum ada progres.

Kejutan muncul ketika sambil iseng saya merangkai huruf menjadi suku kata. Ia memahami konsep mengeja huruf adalah menyambung huruf di depan dengan di belakangnya. Selanjutnya saya memberi contoh bahwa bola dapat dibagi menjadi dua suku kata b + o = bo, l + a = la. Meski ia sering lupa suku kata di depannya (bo).

Saya: "B, O..."
Carles: "BO.."
Saya: "L, A.."
Carles: "LA.."
Saya: "Disambung jadi..."
Carles: "........"
Saya: "BO..."
Carles: "LA.."

Dan yang mengherankan, ini dilakukan secara lisan, hanya diucapkan. Waktu dia kembali dihadapkan pada bentuk tertulis, kelihatan sekali ia mengalami kesulitan untuk mengenali berbagai huruf yang ada di depannya.

Saat itu, saya tidak pernah punya pikiran bahwa ini salah satu bentuk dyslexia. Dan sampai sekarang pun saya belum benar-benar yakin bahwa Carles mengalami dyslexia sampai ia menjalani tes. Yang melintas di kepala saat itu justru faktor lingkungan lah yang menjadi penyebab Carles mengalami kesulitan belajar membaca. Ia tinggal dengan kakek neneknya yang buta huruf. Rumahnya pun agak terpencil, jauh dari rumah penduduk lain. Satu-satunya kesempatan yang ia punya untuk belajar membaca hanya selama 5 jam di sekolah. Itu pun masih harus berbagi perhatian dengan 23 siswa lainnya. Ditambah perasaan inferior yang muncul saat berhadapan dengan teman sekelasnya yang lebih lancar membaca, sangat mungkin motivasi belajarnya menjadi rendah.

Dan waktu 3 bulan pastilah tidak cukup untuk memberikan pengaruh yang berarti bagi pembelajarannya. Ataupun memberi pengertian kepada lingkungan di sekitarnya bahwa Carles tidak bodoh. Ia hanya melihat tulisan dengan cara yang berbeda. Dan dengan keterbatasannya itu, Carles seharusnya mendapat metode pengajaran yang juga berbeda.

Entah kenapa tiba-tiba terpikir tentang Carles saat melihat tulisan di atas. Timbul penyesalan bahwa saya juga sempat berpikir sama seperti orang-orang di sekitar Carles. Betapa saya memaksakan persepsi 'normal' ini kepadanya. Bahwa seharusnya dia juga melihat apa yang saya lihat. Baru sadar, bahwa saat mengajarkannya membaca, saya tidak berempati dengan kondisinya. Saya hanya melihat dari sudut pandang saya sendiri, bukan sudut pandangnya.

Isi tas ransel ini...

Apa? Mau liat tas ransel saya??
Ah, nggak ada yang istimewa dari ransel kecil warna hitam ini. Ukurannya nggak besar supaya badan saya yang kecil ini nggak kelihatan kebanting waktu membopongnya. Isinya juga sama saja seperti tas ransel milik orang lain..

.....

Nngg.. Ya sudah, kalau kamu penasaran sekali, bolehlah diobrak-abrik. Tapi hati-hati lho, isinya nggak boleh berkurang. Kalau bertambah sih, saya dengan senang hati akan menerima. Hehehe...

Hmmm.. Let's see..
1. Dompet
2. Si Hitam, hape kesayangan saya

.....

Kamu yakin masih mau liat isinya? Sampai di sini belum ada yg cukup istimewa lho..
Lanjuut? Baiklah..

3. Dompet make up, aksesoris
4. Novel fiksi
5. Kantong tempat menyimpan kabel data, handsfree si Hitam & flashdisk
6. Refleksi
7. Tissu ba....

Heiii... Kenapa berhenti di item ke enam?
Masih ada barang-barang lain yang lebih menarik di dalam sini lhoo... Ayo kita lihat-lihat lagi..

...
....

Ya sudahlah, kalau kamu memang lebih tertarik melihat-lihat item ke enam. Toh isinya hanya cerita sehari-hari, yang mungkin juga pernah kamu alami. Atau jangan-jangan kamu justru menjadi bagian dari cerita itu..

Just take your time..