Alter Ego yang Pergi

Ah, menulis lagi setelah sekian lama blog ini beristirahat.
Saya kelihatannya masih perlu banyak waktu untuk belajar menulis secara rutin. Di awal pembuatan blog ini (dan blog sebelumnya) sempat terbersit keinginan untuk melahirkan satu posting baru setiap minggunya. Ternyata nggak semudah yang diduga. Saya tetap menulis, apapun yang terlintas di kepala, teramati oleh mata atau terekam di hati (halah, bahasanya). Tapi nggak tahu kenapa, setiap kali akan mengklik tombol 'Publish Post', saya kembali ragu-ragu. Merasa tulisan ini kurang berisi, kurang mencerminkan diri saya, content yang kurang up to date atau alasan-alasan lain yang sempat muncul. Dan akhirnya, semua itu hanya tersimpan sebagai draft, entah sampai kapan.

Saya butuh katarsis.
Banyak hal memenuhi kepala saya. Pertanyaan yang belum terjawab, rencana masa depan, perasaan yang menggelisahkan. Semua itu butuh penyaluran. Dan menulis sepertinya media yang tepat, tidak hanya untuk menampung isi hati dan kepala yang membludak tapi juga untuk mempelajari pola pemikiran saya. Sering saya terkikik geli membaca diary-diary jaman berseragam sekolah dulu. Polos, lucu, apa adanya. Masalah yang dulu dirasa begitu rumit, menjengkelkan dan biasanya ditulis dengan huruf besar serta tanda seru yang berjejer itu, kini malah membuat saya tersenyum-senyum sendiri.

Sampai saat ini pun menulis masih jadi kebutuhan, kali ini dalam bentuk yang berbeda. Kalau dulu buku-buku kecil yang halamannya berwarna-warni, kini beralih ke media elektronik. Yang saya masih belum terbiasa hanyalah konsep berbagi ke publik. Sebagai seorang yang introvert, saya terbiasa menyimpan pemikiran dan perasaan sendiri. Hanya sedikit porsi yang saya bagi ke khalayak umum, sedangkan yang sebagian besar tetap disimpan untuk saya sendiri dan orang-orang terdekat. Melalui blog, saya 'dipaksa' untuk berbagi tidak hanya dengan teman dekat, tapi juga dengan orang-orang yang tak pernah saya kenal sebelumnya. Seperti buku terbuka, setiap hal yang tertulis di dalamnya menjadi milik publik.

Saya yang introvert akut sering kali merasa gamang dalam menentukan mana yang sebaiknya dipublish dan mana yang seharusnya disimpan sendiri. Jujur, saya masih belum berani membiarkan orang lain mengetahui pikiran dan perasaan yang selama ini saya simpan dalam-dalam. Saya takut akan penilaian mereka. Karena sedikit banyak penilaian itu akan berpengaruh. Tapi seperti pegas, semakin kuat daya tekan yang saya berikan, semakin besar juga keinginannya untuk melompat keluar. Sampai pada satu titik dimana saya tidak mampu menahan pemikiran dan perasaan tersebut sehingga harus membiarkannya tumpah, tak tertampung. Karena itu saya coba untuk berkompromi.

Saya percaya dunia maya memberi kesempatan kepada kita untuk menciptakan diri yang berbeda dengan dunia nyata. Alter ego istilahnya. Seperti Bruce Wayne dengan Batman, alter ego adalah suatu sosok yang berbeda 180 derajat dengan diri yang ditampilkan di dunia nyata. Kita yang ingin selalu tampak baik di mata orang lain ada kalanya menyimpan beberapa hal yang berpotensi untuk tidak diterima oleh lingkungan. Alhasil. kita membutuhkan tempat penampungan. Kritik, sindiran, kesinisan, kemarahan yang masih dipandang negatif bisa tersalurkan secara aman di dunia maya.

Sedikit pengakuan dosa. Ransel kecil ini awalnya dibuat untuk diisi oleh alter ego saya di dunia maya, Samarthana. Dalam bahasa Sansekerta, Samarthana berarti refleksi. Tulisannya sendiri adalah refleksi atas berbagai kejadian dalam hidup saya, yang menyenangkan maupun tidak. Dengan menjadi Samarthana, saya bebas bercerita (dan mencela). Tentang masa-masa abege labil, kebingungan saat dihadapkan pada berbagai pilihan, kesinisan saya pada seorang laki-laki. Hal-hal yang dalam kehidupan nyata akan berpotensi tidak diterima oleh mereka yang terkait. Bayangkan kalau saya tetap menggunakan nama asli lalu blog saya dibaca oleh istri si cinta monyet atau laki-laki yang tidak gentlemen atau sosok yang dengan semena-mena saya analogikan sebagai beruang?

Itulah keuntungan 'menjadi' Samarthana.

Tapi, sebesar apapun usaha untuk berbicara sebagai Samarthana, ciri khas saya tidak hilang dan membuat saya tetap dikenali (cih, sok terkenal..) Selain si om dan sahabat nun jauh di sana, ada beberapa teman yang juga suka melihat-lihat isi ransel saya (hai kamu..). Sebagai pertanggungjawaban atas tulisan sebelumnya dan berikutnya, saya memutuskan untuk memakai nama sendiri, bukan lagi sebagai Samarthana. Dan saya juga akan semakin berhati-hati dalam menulis, yang semoga saja tidak membuat saya justru semakin malas mengupdate blog ini. Alternatifnya antara memilih jenis tulisan yang relatif 'aman' dan kalaupun gemes pengen misuh-misuh bisa dengan menyamarkan nama orang-orang yang terlibat. Kalaupun masih ada yang merasa tersudut dan keberatan dengan tulisan saya, silahkan kontak via japri.

Sekali lagi, selamat datang di rumah saya *nyuguhin es sirop*. Saya Risty, pemilik ransel kecil ini.

Anu.. kalo es siropnya udah abis, gelasnya dicuci sendiri ya..

1 komentar:

Posting Komentar