Alter Ego yang Pergi
Saya kelihatannya masih perlu banyak waktu untuk belajar menulis secara rutin. Di awal pembuatan blog ini (dan blog sebelumnya) sempat terbersit keinginan untuk melahirkan satu posting baru setiap minggunya. Ternyata nggak semudah yang diduga. Saya tetap menulis, apapun yang terlintas di kepala, teramati oleh mata atau terekam di hati (halah, bahasanya). Tapi nggak tahu kenapa, setiap kali akan mengklik tombol 'Publish Post', saya kembali ragu-ragu. Merasa tulisan ini kurang berisi, kurang mencerminkan diri saya, content yang kurang up to date atau alasan-alasan lain yang sempat muncul. Dan akhirnya, semua itu hanya tersimpan sebagai draft, entah sampai kapan.
Saya butuh katarsis.
Banyak hal memenuhi kepala saya. Pertanyaan yang belum terjawab, rencana masa depan, perasaan yang menggelisahkan. Semua itu butuh penyaluran. Dan menulis sepertinya media yang tepat, tidak hanya untuk menampung isi hati dan kepala yang membludak tapi juga untuk mempelajari pola pemikiran saya. Sering saya terkikik geli membaca diary-diary jaman berseragam sekolah dulu. Polos, lucu, apa adanya. Masalah yang dulu dirasa begitu rumit, menjengkelkan dan biasanya ditulis dengan huruf besar serta tanda seru yang berjejer itu, kini malah membuat saya tersenyum-senyum sendiri.
Sampai saat ini pun menulis masih jadi kebutuhan, kali ini dalam bentuk yang berbeda. Kalau dulu buku-buku kecil yang halamannya berwarna-warni, kini beralih ke media elektronik. Yang saya masih belum terbiasa hanyalah konsep berbagi ke publik. Sebagai seorang yang introvert, saya terbiasa menyimpan pemikiran dan perasaan sendiri. Hanya sedikit porsi yang saya bagi ke khalayak umum, sedangkan yang sebagian besar tetap disimpan untuk saya sendiri dan orang-orang terdekat. Melalui blog, saya 'dipaksa' untuk berbagi tidak hanya dengan teman dekat, tapi juga dengan orang-orang yang tak pernah saya kenal sebelumnya. Seperti buku terbuka, setiap hal yang tertulis di dalamnya menjadi milik publik.
Saya yang introvert akut sering kali merasa gamang dalam menentukan mana yang sebaiknya dipublish dan mana yang seharusnya disimpan sendiri. Jujur, saya masih belum berani membiarkan orang lain mengetahui pikiran dan perasaan yang selama ini saya simpan dalam-dalam. Saya takut akan penilaian mereka. Karena sedikit banyak penilaian itu akan berpengaruh. Tapi seperti pegas, semakin kuat daya tekan yang saya berikan, semakin besar juga keinginannya untuk melompat keluar. Sampai pada satu titik dimana saya tidak mampu menahan pemikiran dan perasaan tersebut sehingga harus membiarkannya tumpah, tak tertampung. Karena itu saya coba untuk berkompromi.
Saya percaya dunia maya memberi kesempatan kepada kita untuk menciptakan diri yang berbeda dengan dunia nyata. Alter ego istilahnya. Seperti Bruce Wayne dengan Batman, alter ego adalah suatu sosok yang berbeda 180 derajat dengan diri yang ditampilkan di dunia nyata. Kita yang ingin selalu tampak baik di mata orang lain ada kalanya menyimpan beberapa hal yang berpotensi untuk tidak diterima oleh lingkungan. Alhasil. kita membutuhkan tempat penampungan. Kritik, sindiran, kesinisan, kemarahan yang masih dipandang negatif bisa tersalurkan secara aman di dunia maya.
Sedikit pengakuan dosa. Ransel kecil ini awalnya dibuat untuk diisi oleh alter ego saya di dunia maya, Samarthana. Dalam bahasa Sansekerta, Samarthana berarti refleksi. Tulisannya sendiri adalah refleksi atas berbagai kejadian dalam hidup saya, yang menyenangkan maupun tidak. Dengan menjadi Samarthana, saya bebas bercerita (dan mencela). Tentang masa-masa abege labil, kebingungan saat dihadapkan pada berbagai pilihan, kesinisan saya pada seorang laki-laki. Hal-hal yang dalam kehidupan nyata akan berpotensi tidak diterima oleh mereka yang terkait. Bayangkan kalau saya tetap menggunakan nama asli lalu blog saya dibaca oleh istri si cinta monyet atau laki-laki yang tidak gentlemen atau sosok yang dengan semena-mena saya analogikan sebagai beruang?
Itulah keuntungan 'menjadi' Samarthana.
Tapi, sebesar apapun usaha untuk berbicara sebagai Samarthana, ciri khas saya tidak hilang dan membuat saya tetap dikenali (cih, sok terkenal..) Selain si om dan sahabat nun jauh di sana, ada beberapa teman yang juga suka melihat-lihat isi ransel saya (hai kamu..). Sebagai pertanggungjawaban atas tulisan sebelumnya dan berikutnya, saya memutuskan untuk memakai nama sendiri, bukan lagi sebagai Samarthana. Dan saya juga akan semakin berhati-hati dalam menulis, yang semoga saja tidak membuat saya justru semakin malas mengupdate blog ini. Alternatifnya antara memilih jenis tulisan yang relatif 'aman' dan kalaupun gemes pengen misuh-misuh bisa dengan menyamarkan nama orang-orang yang terlibat. Kalaupun masih ada yang merasa tersudut dan keberatan dengan tulisan saya, silahkan kontak via japri.
Sekali lagi, selamat datang di rumah saya *nyuguhin es sirop*. Saya Risty, pemilik ransel kecil ini.
Anu.. kalo es siropnya udah abis, gelasnya dicuci sendiri ya..
Gentlement vs Jerk
"Tapi mbak Risty nggak setuju aku suka sama dia, mbak.." ujarnya kepada Miss Judes.
"Kenapa, Ris? PK ya" tanya Miss Judes, si to-the-point-males-basa-basi.
"Mmm.. Gitu deh, mbak.. Track recordnya nggak bagus.." jawab saya ragu-ragu, tidak siap memainkan peran antagonis.
"Iya sih, keliatan kalo player abis.." kata Miss High Society tentang laki-laki yang dijatuhi cintanya.
Setelah itu obrolan tentang laki-laki itu terus berlanjut. Saya sesekali menimpali. Tapi sepanjang perjalanan, saya sibuk dengan pikiran saya sendiri. Yah, 'track record yang nggak bagus' sepertinya masih belum cukup untuk menggambarkan laki-laki itu.
"g-e-n-t-l-e-m-e-n-t is more difficult to spell than j-e-r-k because it's more difficult to be one"
Laki-laki yang berpacaran dengan seorang perempuan tapi mengaku masih single lalu tetap tebar pesona kemana-mana dan memberi harapan ke perempuan lain dengan sadar mungkin lebih layak disebut jerk. And i'm quite sure he can only spell j-e-r-k. *sinis mode: on*
Karena suatu alasan, saat itu saya masih belum bisa memberitahukan penyebab ketidaksetujuan saya kepada Miss High Society. Toh, posisi saya yang hanya orang luar dalam hubungan cinta -yang sebenarnya segitiga- itu tidak memungkinkan untuk ikut campur terlalu jauh. Tapi kalau situasinya memungkinkan atau hubungan ini berkembang menjadi semakin buruk bukan tidak mungkin saya akan bercerita.
Tapi entah kenapa bagi perempuan-perempuan single (seperti Miss High Society dan teman-teman lain, dan mungkin.. saya sendiri?), laki-laki yang tidak ingin berkomitmen, yang sudah punya pacar, yang akan atau sudah menikah biasanya memiliki daya tarik yang lebih tinggi dibanding laki-laki single yang baik-baik. Apa hukum yang sama juga berlaku untuk laki-laki kepada perempuan ya?
Accidental Hero
Hero (1992)
Pemeran:
Dustin Hoffman: Bernie Laplante
Andy Garcia : John Bubber
Geena Davis : Gale Gayley
Joan Cusack : Evelyn Laplante
Sutradara: Stephen Frears
Saya lupa kapan persisnya nonton film ini. Pastinya di salah satu malam saat insomnia saya kumat. Karena saya ingat jam 1 dini hari mata ini masih cukup segar untuk tetap terbuka, menikmati jalan ceritanya.
Cerita tentang Bernie LaPlante, laki-laki yang dinilai kurang bertanggung jawab dan egois oleh Evelyn, si istri. Mereka tidak lagi tinggal serumah. Evelyn mendapat hak asuh atas anak laki-laki mereka satu-satunya. Sementara Bernie berprofesi sebagai pencuri dan hidup sendiri. Lepas dari hubungannya yang buruk dengan Evelyn, Bernie sangat menyayangi anak semata wayangnya.
Suatu malam dalam perjalanan bertemu anaknya, Bernie menjadi saksi kecelakaan pesawat no 104 yang jatuh di sungai. Ia yang saat itu sedang diburu waktu karena ingin segera bertemu anaknya, akhirnya menyempatkan diri menolong para korban dan melepaskan sepasang sepatu seharga $100 miliknya. Dengan wajah tertutup lumpur dan kondisi yang gelap gulita, Bernie berusaha menyelamatkan seluruh korban, salah satunya Gale, seorang reporter. Setelah itu Bernie segera pergi, tanpa memperkenalkan diri ataupun memberi keterangan kepada polisi yang baru saja tiba di TKP.
Bernie yang kehilangan salah satu sepatunya di TKP tiba di rumah Evelyn dengan wajah kotor. Meskipun ia menjelaskan penyebab keterlambatannya, Evelyn tetap tak percaya dan melarangnya bertemu anak mereka. Tanpa sepengetahuan si istri, Bernie bertemu dengan anak mereka dan menceritakan kejadian sebenarnya.
Dalam perjalanan pulang, Bernie bertemu dan menumpang mobil John Bubber, seorang tuna wisma. Bernie bercerita tentang kecelakaan pesawat yang baru ia saksikan, tentang keadaan keluarganya dan dengan kesal melemparkan sebelah sepatu yang ia miliki ke dalam mobil John.
Cerita semakin menarik ketika Gale si reporter sangat terkesan dengan sosok pahlawan dalam kecelakaan pesawat tersebut. Karena tidak memiliki petunjuk mengenai siapa penyelamatnya, Gale membuat acara pencarian 'Angel of Flight 104' di TV dengan hanya bermodalkan sebelah sepatu si penyelamat. Singkat cerita, John Bubber datang dengan membawa sebelah sepatunya. Di sini saya tertawa, sangat Mr. Cinderella sekali ya...
John Bubber segera saja menjadi idola baru. Gale yang sebelumnya sangat percaya bahwa si 'Angel of Flight 104' ini adalah seorang yang berhati lembut seolah mendapat pembenaran dan pelan-pelan mulai jatuh cinta. Bubber sendiri pada dasarnya memang baik dan mudah bersimpati pada orang-orang yang mengalami kesulitan pun terpaksa terjun semakin dalam di peran barunya. Namun, hati kecilnya merasa dia tidak layak mendapat mendapatkan semua ini karena memang ia sendiri bukanlah pahlawan yang dimaksud.
Sementara Bernie yang awalnya tidak peduli dengan tindakan mulianya, mulai tergoda saat mengetahui bahwa si 'Angel of Flight 104' ini akan menerima hadiah berupa uang yang jumlahnya cukup besar. Sadar bahwa ia tak mungkin tiba-tiba muncul di hadapan publik dan mengakui bahwa ialah si 'Hero', Bernie memilih untuk mengejar John Hobber.
Endingnya mungkin bisa ditebak. Tapi bagi saya, film ini jadi menarik karena konflik dan dinamika psikologis dari kedua tokoh utamanya. Bernie Laplante, si tokoh jahat yang dalam suatu situasi memutuskan berbuat baik dan sebaliknya, John Bubber, si lembut yang kemudian berbuat jahat dalam arti melakukan kebohongan publik. Ironis...
Saya percaya ada sisi baik dan buruk dalam diri setiap orang. Ingin hidup tenang dan damai, tapi ada kalanya muncul keinginan menyerang. Di satu sisi ingin berguna bagi orang lain, tapi di saat yang sama mengedepankan kepentingan diri sendiri. Melakukan kebaikan sebagai kompensasi atas kesalahan yang pernah kita lakukan sebelumnya.
Memang tidak ada orang yang sepenuhnya putih dan tidak ada yang sepenuhnya hitam. Perilaku yang muncul sepatutnya tidak menjadi satu-satunya penilaian. Ada alasan yang melatarbelakangi keputusan seseorang untuk melakukan kebaikan atau kejahatan, ataupun tidak melakukannya. Tapi satu hal, hati nurani jelas tidak mungkin berbohong. Seorang perampok, seberapapun kuatnya memberikan alasan bahwa tindakannya dilakukan atas dasar ekonomi, pasti menyadari bahwa tindakannya salah.
Hhmmm... postingan yang nggak jelas. Sepertinya efek belum sarapan bikin saya ngelantur, ngomong pun jadi abstrak gini..
Did you know?
Film ini juga dikenal dengan judul Accidental Hero, yang menurut pendapat saya, justru lebih sesuai dengan alur cerita.
Lagu 'Hero' Mariah Carey, sebenarnya dibuat untuk theme song film ini. Tapi akhirnya dibatalkan dan terpilihlah lagu 'Heart of a Hero' dari Luther Vandross sebagai theme song-nya.
Kucing Kecil
Ruangan itu. Ruangan berwarna broken white dengan nuansa hijau di sana sini. Ia pernah berada di sana cukup lama sehingga mengenal dekat penghuninya. Paman beruang yang lucu dan baik hati, paman singa yang ramah tapi tegas. Ada juga teman-temannya, beberapa kucing kecil yang senang berlari-lari menjelajah ruangan, dengan jahilnya mengganggu kakak-kakak rusa yang sedang makan, namun bisa duduk tenang mendengarkan dongeng ibu panda sebelum tertidur.
Di ruangan itu ia pernah menangis karena terjatuh, tapi juga pernah merasakan kebanggaan luar biasa saat berhasil mengerjakan tugas yang diberikan paman beruang. Kebingungan yang dirasakan di masa awal berada di sana, setara dengan kepuasan yang didapat saat mengetahui hasil kerjanya dihargai dan dapat bermanfaat untuk penghuni lain. Pertengkaran datang silih berganti dengan canda dan ledekan akrab. Ia sudah tahu bagaimana karakter setiap penghuninya. Menghadapi kucing kelabu, teman akrabnya, tentu berbeda dengan menghadapi kelinci yang suka berdebat. Berbincang dengan paman beruang yang santai juga pasti berbeda dengan ibu panda yang mudah marah.
Ia rindu berada di tengah mereka.
Dan ternyata mereka pun rindu padanya.
Kemarin paman beruang datang, bertanya apakah ia mau kembali ke ruangan bernuansa hijau itu. Mengerjakan hal lain yang sangat ia sukai. Hal yang ia impikan sejak dulu.
Kucing kecil tentu saja senang dengan tawaran itu. Kembali bermain dengan paman beruang, kucing kelabu, bahkan ibu panda? Hmmm... Sayang sekali jika ditolak..
Lalu kucing kecil menoleh, memperhatikan ruangan tempatnya berada saat ini. Tidak sebesar ruangan di seberang memang. Penghuninya pun masih sedikit. Tapi di sini, ia bisa bebas melakukan banyak hal yang menyenangkan. Bermain gulungan wol, menggangu kumpulan burung pipit yang sedang asyik mengobrol, berjemur di hangatnya sinar matahari sambil bercanda dengan ikan kecil di kolam.
Di sini belum ada aturan baku. Semua penghuni bebas melakukan apa saja. Memang menyenangkan, tapi sering kali jadi mengganggu. Dan ia diminta oleh paman singa untuk menerapkan aturan untuk membuat ruangan ini, paling tidak, sedikit lebih tertib.
Kucing kecil yang sebelumnya masih terkaget-kaget dengan keadaan ruangan ini, tentu saja jadi semakin terkejut. Ia tidak menyangka tanggung jawabnya sedemikian besar. Dan ia sempat ragu, apakah ia mampu mengemban tugas itu dengan baik. Untung saja ada paman gajah yang selalu mendampinginya. Ia selalu mendukung setiap keputusan yang diambil oleh kucing kecil.
Tapi, kucing kecil merasa kesepian. Ia satu-satunya kucing di sana. Sendiri. Tak ada teman bermain gulungan wol, tak ada teman berdiskusi apakah sebaiknya mencari pelatih vokal untuk burung-burung pipit atau melatihnya sendiri. Ia kesepian dan kebingungan.
Kucing kecil menatap pintu di seberang ruangan itu lagi.
Hei... Sejak kapan ada paman beruang di sana? Melambaikan tangan, memanggil kucing kecil. Dari sorot matanya, kucing kecil tahu paman beruang menunggu jawaban. Kucing kecil balas melambaikan tangan. Tak lama si kelinci, lawan bertengkarnya di ruangan itu muncul. Disusul kakak rusa dengan tanduknya yang cantik. Lalu kucing kelabu, waaahh gemuk sekali dia sekarang... Mereka semua memanggil-manggil kucing kecil, mengajaknya kembali ke ruangan itu.
Kucing kecil bingung.
Masih diingat dengan jelas alasannya pergi dari ruangan bernuansa hijau itu. Iklim di sana dirasakan sudah tak sehat untuknya. Dingin, tak nyaman. Kucing kecil tahu, banyak penghuni yang sudah tidak kuat berada di sana. Dan setelah ia pergi, banyak yang kemudian menyusul. Sampai sekarang pun ia tahu, masih banyak yang memaksakan diri menahan dingin, demi menunggu saat yang tepat untuk pergi dari sana. Dari ruangan dingin yang membuatnya menggigil.
Kerinduan terhadap teman-temannya di ruangan bernuansa hijau itu, akankah mampu membuatnya kembali ke sana? Kehangatan teman-temannya, akankah mampu melawan rasa dingin yang selalu dirasakannya? Pekerjaan yang ditawarkan oleh paman beruang, akankah mampu membuatnya bertahan di sana?
Kucing kecil bingung.
Ia menatap teman-teman di ruangan tempatnya berada. Di sini pun banyak yang merasa tak nyaman. Entah apa yang membuat mereka bertahan. Kucing kecil belum cukup lama berada di sini, belum tahu apa yang ada di pikiran mereka. Mereka belum bercerita banyak tentang ruangan ini.
Kucing kecil bingung.
Apalagi dilihatnya pintu cokelat di sebelah ruangan bernuansa hijau perlahan terbuka. Ibu kancil ada di sana, tersenyum padanya. Mempersilahkan kucing kecil mampir atau sekedar melihat-lihat ruangannya. Siapa tahu tertarik, katanya. Kucing kecil pernah mendengar apa yang ada di balik pintu cokelat itu. Tempat yang menyenangkan, penuh mainan, karena penghuninya bayi-bayi binatang. Kucing kecil membayangkan tugas apa yang akan dihadapinya di sana. Bermain dengan bayi, setiap hari. Alangkah menyenangkan...
Tolong... Kucing kecil semakin bingung...
Semakin banyak pilihan, semakin pusing jadinya.
Kucing kecil menatap ke atas, menembus langit-langit ruangannya, menembus atap gedung, menembus awan. Kucing kecil mencari Pemilik Segala Jawaban, ingin bertanya apa rencana yang Ia buat untuknya? Ruangan mana yang harus ia masuki? Tugas apa yang sebaiknya ia kerjakan supaya menjadi kucing yang tidak hanya lebih besar dari segi fisik, tapi juga dari segi kemampuan?
"Wahai Pemilik Segala Jawaban, tolong tunjukkan jalan terbaik untukku..."
In the Arms of the Angel
Angel - Sarah McLachlan
Spend all your time waiting
For that second chance
For a break that would make it okay
There’s always one reason
To feel not good enough
And it’s hard at the end of the day
I need some distraction
Oh beautiful release
Memory seeps from my veins
Let me be empty
And weightless and maybe
I’ll find some peace tonight
In the arms of an angel
Fly away from here
From this dark cold hotel room
And the endlessness that you fear
You are pulled from the wreckage
Of your silent reverie
You’re in the arms of the angel
May you find some comfort there
So tired of the straight line
And everywhere you turn
There’s vultures and thieves at your back
And the storm keeps on twisting
You keep on building the lie
That you make up for all that you lack
It don’t make no difference
Escaping one last time
It’s easier to believe in this sweet madness oh
This glorious sadness that brings me to my knees
In the arms of an angel
Fly away from here
From this dark cold hotel room
And the endlessness that you fear
You are pulled from the wreckage
Of your silent reverie
You’re in the arms of the angel
May you find some comfort there
You’re in the arms of the angel
May you find some comfort here
Ketularan suka lagu ini karena si om yang satu ini.
"May you find some comfort with me" (ciyeeeehh...)
Nggak kemana-mana
Hampir 12 tahun saya mengenalnya. Sejak kami masih berpakaian putih merah. Tak banyak obrolan yang pernah mampir di antara kami. Dan kuantitas maupun kualitas obrolan juga belum meningkat di masa taksir menaksir yang dimulai saat kami berseragam putih biru. Hanya sebatas lirikan mata jika berpapasan di kantin, mushalla, lapangan sekolah.
Ah, tak perlu itu semua...
Hanya melihat rambutnya dari jendela ruang kelas saat dia melintas saja saya sudah senang. Begitu hafalnya saya dengan rambut jigrak-jigrak atau gaya jalan yang menurut saya, dia banget. Begitu hafalnya saya dengan suaranya. Sehingga setiap kali radar saya menangkap tanda-tanda keberadaannya, saya langsung terdiam sampai dia lewat.
Terbayang kan bagaimana perasaan saya waktu kami mulai titip menitip salam?
Betapa kuatnya saya berusaha meyakinkan si teman kalau saya tidak terpengaruh dengan pesan yang dibawanya. Nyatanya tubuh ini justru bereaksi sebaliknya. Pipi yang bersemu merah, mata yang berbinar-binar sambil sesekali tertunduk malu. Dan tawa si teman semakin keras waktu saya mengangguk sambil tersipu saat menjawab pertanyaannya, "Salam balik nggak?".
Yaah.. Saya memang pemalu sekali saat itu...
*siap-siap ngeles ditimpuk*
Dan salam-salam yang datangnya tidak rutin itu telah memberi warna di hidup saya..
Salam-salam itu dan kehadirannya yang hanya selintas telah menjadi alasan saya untuk berangkat sekolah.
Sampai saya tahu bahwa dia punya banyak penggemar. Hampir di setiap kelas.
Ya, dia memang layak menjadi idola. Postur tubuh sedikit di atas rata-rata ditunjang wajah yang, yaaahh, cukup manis. Jabatan sebagai ketua kelas yang juga sering tampil sebagai pemain basket andalan sekolah. Belum lagi sifat humoris dan ramahnya.
Perempuan yang menggemarinya mungkin tak terhitung. Mereka bahkan dengan berani memanggil-manggil, ngobrol di pinggir lapangan basket atau bahkan nonton bareng.
Dan saya hanya bisa mengalihkan pandangan setiap melihat itu semua.
Cukup sering saya bertanya ke diri sendiri. Kenapa saya tak bisa seperti mereka, bebas mengobrol, bercanda dengan serunya. Saya, yang temannya sejak kecil, hanya bisa memperhatikannya dari jauh. Terlalu malu dengan perasaan yang saya simpan sedemikian rupa. Bahkan dalam beberapa kesempatan berbincang dengannya (yang sebenarnya cukup jarang terjadi), saya seringkali hanya bisa tersipu menjawab pertanyaannya dengan suara yang bergetar, nyaris tak terdengar. Setengah mati berusaha meredam degup jantung yang sedemikian keras sampai saya tak bisa mendengar suaranya atau suara saya sendiri.
Sampai dengan bantuan seorang teman, saya memberanikan diri untuk meneleponnya. Tidak terlalu lama tapi cukup membuat saya senang karena kami bisa mengobrol layaknya teman akrab.
Tapi jangan harap percakapan yang sama bisa terlihat saat kami bertemu di sekolah keesokan harinya. Saya kembali menjadi si pengagum jarak jauh. Teman-teman yang gemas, selalu memancing saya untuk berani mengajaknya ngobrol. Dia sendiri sangat baik, selalu menyapa setiap kami berpapasan. Sapaan yang kadang hanya saya balas dengan senyum tipis yang langsung diikuti dengan pipi yang memerah dan ledekan teman-teman segenk.
Tuh, saya pemalu sekali kan?
*eeits.. ga kena..*
Dan prestasi tertinggi yang pernah saya lakukan hanya meminta tanda tangannya di baju seragam saat perpisahan SMP. Itupun agak tersamarkan, karena pada saat yang sama, teman-teman segenk menyerbunya untuk meminta tanda tangan. Saya sengaja menunggu giliran terakhir kemudian tersenyum sambil memberikan spidol. Dia balas tersenyum, langsung memberikan tanda tangan di belakang kerah baju saya. Tak ada celetukan iseng, tak ada tatapan mata dan senyum penuh arti dari teman-teman saya yang hobinya ngomporin itu.
Tiga tahun kemudian, saya menonton penampilannya di acara pentas seni sekolah. Dia masih tetap disukai banyak perempuan. Saya tetap si pemalu.
Bedanya, kali ini kami bercanda dan mengobrol.
Saya bisa mendengar suaranya, tidak lagi tertutup suara detak jantung saya sendiri. Perasaan itu memang tidak hilang, masih ada. Hanya tidak sebesar dulu. Rasanya lebih tenang, lebih nyaman. Saya menikmati setiap obrolan dan tawa dengannya, menikmati setiap detik di siang itu. Saya menikmati saat-saat dimana saya bisa menjadi diri sendiri, di hadapannya.